Archive for the ‘Short Story’ Category

Semata-mata karena Uang


Sebagian besar masyarakat di Negeri Salah Urus menganut Islam, tetapi mereka rajin memberi sesajen di pohon paling tua, paling tinggi, dan paling besar di negeri mereka. Suatu hari ada seorang ahli ibadah (Abid) mendengar perkara kesesatan sebagian besar masyarakat di Negeri Salah Urus itu. Sang Abid murka dan bergegas menuju Negeri Salah Urus. Tujuan dia satu, merobohkan pohon tua itu atas izin dan kehendak Allah serta semata-mata karena Allah.

Tak dinyana di tengah perjalanan Sang Abid dihadang oleh sekelompok orang berwajah kelimis dan tampan. Orang-orang itu bertekad mengurungkan niat Sang Abid.

“Pohon tua itu milik kami. Bukan milik Anda. urusi saja urusan Anda dan jangan urusi kami,” sergah seseorang mewakili kelompoknya.

“Mahasuci Allah. Kalian sudah tersesat. Kembalilah pada ajaran yang lurus, rahmatan lil alamin. Pohon tua itu harus saya tumbangkan agar tidak lagi menjadi alat sembahan kalian,” ujar Sang Abid dengan aksentuasi mantap penuh keyakinan.

“Tidak! Kami semua siap mencegahmu sampai tetes darah penghabisan,” tegas seseorang mewakili kelompoknya yang disambut oleh teriakan dari yang lainnya, “Yes, kami siap mati demi tetap tegak pohon itu.”

Pertarungan sengit antara Sang Abid dan sekelompok orang itu tidak lagi dapat dicegah. Sang Abid memainkan jurus-jurus andalannya dan berulangkali berucap, “Allahu Akbar….”

Kurang dari 15 menit berlalu, pertarungan dimenangkan oleh Sang Abid. Skor sementara 1:0. Sekelompok orang itu bertekuk lutut mengaku kalah.

“Kami mengaku kalah tapi kami ingin mengajak Anda berunding, agar kita sama-sama memperoleh keuntungan dari perniagaan ini,” kata wakil sekelompok orang itu berusaha mencari raung dialogis untuk negosiasi.

“Apa maksud kalian?”

“Kami sepakat memberikan bonus uang Rp 1 juta per hari kepada Anda. Dengan uang itu Anda bisa setiap hari bersedekah kepada para fakir miskin. Anda akan menjadi seorang ahli ibadah yang kaya raya dan setiap orang pasti mendengar setiap fatwa Anda. Kami pikir itu jauh lebih baik daripada Anda cuma merobohkan pohon itu. Katakanlah, pohon itu Anda robohkan tetapi apa manfaatnya buat orang banyak? Anda sendiri tidak mendapat uang sepeser pun. Mohon pertimbangkan usulan kami ini.”

Mendengar itu Sang Abid merenung. Dia menimbang-nimbang dan akhirnya membenarkan ucapan wakil dari sekelompok orang itu.

“Baik, saya setuju. Mulai besok pagi kalian sudah memberikan bonus uang itu,” ucap Sang Abid seraya menegaskan, “Jika tidak, jangan salahkan saya. Pohon itu pasti saya robohkan.”

“Percayalah, kami pasti memenuhi kesepakatan bersama ini.”

Hari-hari berikutnya Sang Abid itu pun menerima kucuran bonus uang sesuai kesepakatan. Sang Abid mendermakan lebih dari separuh uang itu kepada anak-anak yatim piatu dan fakir miskin. Memasuki minggu kedua, yaitu di hari ke delapan ternyata kiriman bonus uang itu tidak diterima Sang Abid. Alasan sekelompok orang pemberi bonus, akan mereka berikan berikut bonus hari ke sembilan. Pada hari ke sembilan tetap tidak ada kiriman bonus. Begitu pula pada hari-hari berikutnya. Sang Abid sangat murka dan menuding sekelompok orang itu telah mengingkari perjanjian.

Sang Abid bergegas menuju pohon tua dan dia bertekad bulat merobohkannya tanpa ada lagi negosiasi dalam bentuk apa pun. Kembali sekelompok orang itu menghadang langkah sang Abid.

Pertarungan seru dan sengit antara Sang Abid dan sekelompok orang itu untuk kali kedua pecah. Seisi negeri berguncang. Angin berhembus kencang. Cermin retak. Bayangan makin semu. Masyarakat Negeri Salah Urus berhamburan ke luar. Mereka sontak mendongak memandang lagit. Kabut pekat mengaca udara. Pohon-pohon kecil tumbang. Hewan-hewan peliharaan ke luar dari sangkarnya dan kandangnya dan berlari kian kemari lalu masuk ke hutan-hutan Salah Urus. Rumah-rumah penduduk ambruk rata ke tanah.

Sang Abid dan sekelompok orang itu terus bertarung tak peduli pada keadaan di sekitar mereka. Akhirnya Sang Abid kalah. Tubuh Sang Abid terluka dalam. Darah segar menyembur dari mulut Sang Abid.

“Kepada siapa kalian menuntut ilmu sehingga sekarang kalian telah berjaya mengalahkan saya?” ujar Sang Abid dengan nafas mengap-mengap menahan nyeri tak berhingga di dadanya.

“Kami tidak menuntut ilmu kepada siapa pun. Dulu engkau berjaya karena kau melangkah semata-mata karena Tuhanmu. Sekarang engkau kalah dari kami karena engkau berkehendak semata-mata karena uang.”

Sang Abid menekap dadanya. Nyeri di dadanya makin hebat. Mulutnya menganga. Nafasnya makin megap dan selanjutnya dia menghembnuskan nafas terakhir. Udara makin amis. Tubuh Sang Abid tergeletak kaku tidak jauh dari bentangan sungai Salah Urus. Warna kelam langit memantul kontras di permukaan sungai yang terus mengalir perlahan.